Sembalun sebagai sebuah lokus
budaya memiliki kekhasan secara kosmologis dan melahirkan ekspresi budaya yang
khas pula. Masyarakat Sembalun memulai kehidupan peradabannya secara materi
maupun immateri dari “pewarisan” bibit padi oleg Sang Dewi yang terdiri dari
bibit padi putih, padi merah dan padi hitam. Padi putih dan hitam dibawa ke
Bayan dan padi merah dikembangkan di Sembalun. Pewarisan bibit padi ini
dilakukan oleh Sang Dewi sekaligus sebagai jejak keberadaannya sebagai “bunda”
bagi masyarakat Sembalun khususnya dan masyarakat Sasak pada umumnya dengan
petilasan yang diyakini sebagai tempat tumbuhnya bibit padi tersebut pertama
kali di Dusun Biloq Petung. Keyakinan inilah yang menjadi spirit masyarakat Sembalun
dalam membangun peradabannya dengan berbagai ekspresi tradisional yang masih
dilakukan, walau saat ini mungkin telah kehilangan roh karena berbagai
pergeseran.
Keterbukaan Sembalun sebagai
pintu masuk Rinjani dan perkembangan Agro Industri yang tidak dilandasi
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Kebudayaan merupakan salah satu penyebab
pergeseran nilai dan pandangan masyarakat Sembalun tentang dirinya dan tentang
“orang lain” (the others). Disamping itu keluguan masyarakat Sembalun dan
kekayaan sumberdaya alam maupun budayanya menyebabkan kawasan ini menjadi
sensual dan mengundang banyak kepentingan untuk melakukan eksploitasi dengan
berbagai pendekatan sampai kawasan ini menjadi benar-benar habis dan
ditinggalkan sendiri mengatasi masalahnya.
Dengan tidak menjastifikasi
tingkat keparahan yang terjadi saat ini, perlu ada upaya pendampingan tanpa
kepentingan untuk mewujudkan masyarakat Sembalum kembali menyadari
eksistensinya, menata kehidupannya sendiri dan memiliki nilai tawar berhadapan
dengan dunia luar termasuk dengan pemerintah. Pendampingan dilakukan dengan
pendekatan gerilya dengan menempatkan para tokoh masyarakat Sembalun dari
berbagai segmen pada tempat yang benar, sesuai dengan peran dan fungsinya dalam
masyarakat. Keliang, Pengulu dan Mangku (para Loka) dan sistem sosial
fungsional serta kaderisasinya mengambil peran untuk menguatkan kembali
Kosmologi Pade Beaq.
Pemikiran Awal Risalah Sembalun
Perumusan kembali risalah
Sembalun yang bersifat kontekstual menjadi sangat penting dalam rangka transformasi
budaya Sembalun menghadapi peradaban. Berdasarkan asumsi awal yang telah
dikemukakan di atas, maka risalah Sembalun disusun dalam bentuk Ekspresi Budaya
dengan konsep dasar Kosmologi Pade Beaq.
Pade Beaq dalam hal ini tidak
hanya dilihat sebagai tanaman padi yang menghasilkan beras merah, tapi
berkaitan dengan jantung kehidupan masyarakat Sembalun khususnya dan masyarakat
lokus budaya “daya” pada umumnya. Dalam hal ini, tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan dan eksistensi Dewi Anjani dalam pemikiran dan kepercayaan kultural
masyarakat “daya”. Keberadaan Dewi Anjani, Pade Beaq dan Gunung Rinjani
melahirkan ikatan kosmologis dalam bangunan sejarah peradaban masyarakat “daya”
khususnya Sembalun yang menjadi induk seluruh ekspresi budaya masyarakat
Sembalun.
Secara Umum Dapat Digambarkan (Sementara) Sebagai Berikut
Dewi Anjani dan Gunung Rinjani
merupakan dua eksistensi yang secara bersamaan memiliki fungsi pusat kosmos
dengan peran masing-masing secara geo-antropologis dalam perspektif kultural.
Ngayu-ayu pada dasarnya merupakan
terminologi kepercayaan yang tidak terikat pada ruang, waktu dan aktivitas,
tetapi terikat pada eksistensi Dewi Anjani dan Pade Beaq. Artinya seluruh
ritual budaya yang dilakukan masyarakat Sembalun pada dasarnya merupakan
rangkaian ritual Ngayu-ayu yang dilakukan secara besar-besaran 4 tahun sekali
(belum ditemukan mengapa 4 tahun sekali), dan ngayu-ayu merupakan landasan dari
seluruh aktivitas budaya (ekspresi budaya) masyarakat Sembalun.
Kesadaran ruang, waktu dan aktivitas
masyarakat Sembalun menyebabkan seharusnya ada ritual yang dilakukan sebelum
melakukan aktivitas budaya maupun aktivitas harian, berarti ada bentuk-bentuk
ritual yang berkaitan dengan waktu (harian, mingguan, bulanan, tahunan atau
ritual berkala lainnya) dan ritual ruang (bale langgaq, gubuk gempeng, paer,
bangket kebon, gawah lendang dll).
*H.L. Agus Fathurrahman
0 komentar:
Posting Komentar